Digital sudah menjadi konsumsi keseharian bagi masyarakat. Bagaimana tidak? Hampir setiap orang memiliki smartphone dan bisa mengakses banyak informasi melalui aplikasi sosial media dan portal berita. Cara masyarakat dalam mengonsumsi media sudah berubah. Sebagai contoh, di tahun 80an, menonton televisi adalah hal yang wajib dilakukan, misalnya dulu jam 21.00 kita rutin menonton Indonesia dalam Berita. Sekarang kita tidak perlu repot-repot menonton televisi karena sosial media dan portal berita sekarang lebih up to date tentang berita yang baru saja muncul dan belum ditayangkan di televisi. Dalam dunia digital, berbagai sumber berita didapatkan tidak hanya dari jurnalis saja, hal itu bisa didapatkan dari masyarakat terutama berita penting yang menyangkut kepentingan masyarakat. Namun yang disayangkan, hal itu bisa menjadi sesuatu yang dianggap hoax karena ketidakpastian sumber berita. Kebanyakan masyarakat baru percaya akan berita itu jika sudah masuk televisi. Ada penelitian yang menunjukkan bahwa 90% masyarakat Indonesia yang berumur diatas 10 tahun mendapatkan informasi dari televisi. Hal ini membuktikan bahwa walaupun digital berkembang dengan pesat, televisi menjadi media utama di Indonesia meski cara masyarakat dalam mengonsumsi media sudah berubah.
Tantangan bagi jurnalis adalah bagaimana caranya untuk bisa relevan agar tetap bisa menyampaikan pesan melalui media yang begitu beragam. Sebagai contoh dalam hal relevan ini adalah, seorang pelukis terkenal di Perancis yang terkenal juga di dunia, dikenal sebagai pelukis yang presisi. Bisa menggambarkan objek dengan semirip mungkin sehingga masyarakat pada saat itu percaya bahwa pelukis itu akan bertahan lama karena tidak ada pesaingnya. Sampai akhirnya tiba-tiba kamera ditemukan, pelukis ini tidak relevan lagi dan skillnya tidak lagi dibutuhkan. Itu menggambarkan bahwa kita harus keep up with the change. Tidak ada pilihan untuk berubah jika teknologi adalah kunci dalam proses perubahan.
Hari ini kita bisa menguasai 1 aplikasi, esok akan ada aplikasi baru. Salah satu kunci agar tetap keep up with the change adalah kesabaran dan menjadi long-life learner. Sepanjang hidup kita, jangan mau kita dibodohi oleh teknologi. Kita harus turut berkembang seiiring berkembangnya teknologi, maka dari itulah yang dimaksud long-life learner agar kita selalu bisa menerima dan mengerti perkembangan teknologi. Dengan disertai kesabaran maka kita akan bisa berjalan beriringan dengan teknologi.
Dalam dunia digital, kolaborasi menjadi sesuatu yang sangat wajib untuk dirayakan bersama agar bisa belajar dunia digital. Apapun yang tampil di layar, kita akan melebihi waktu, melampaui generasi, membentuk wajah dan kepribadian negeri terutama konten digital akan abadi jejaknya. Jadi harus hati-hati dalam membuat konten digital.
Ada 3 pilar kunci dunia digital yaitu kolaborasi, konten dan komunitas. Mari kita bahas satu persatu.
- Kolaborasi
Kolaborasi akan membuat kita saling belajar, menguatkan serta dapat mengapresiasi satu sama lain. Hal yang lebih penting dari kolaborasi adalah bagaimana kita bisa bersikap professional dengan partner kita dan membuat kita bertanggung jawab terhadap tugas masing-masing yang sudah disepakati. - Konten
Dalam membuat konten youtube, instagram dan facebook itu tidak sama. Ketiganya memiliki strategi yang berbeda sehingga kita perlu mempelajari data analytic. Berbicara konten, masyarakat Indonesia sudah mulai cerdas, hal ini didukung oleh dewan pers dan KPI yang semakin galak dan selektif dalam memberikan konten yang terbaik untuk Indonesia.
- Komunitas
Sebuah kelompok akan mengangkat suatu nama. Begitu pula yang terjadi dalam sebuah komunitas. Bisa menjadikan sebuah gerakan dilakukan secara sukarela bisa pula dijadikan sebuah wadah untuk pelatihan bagi siapa saja yang mau berkembang. Sehingga dengan adanya komunitas, kita bisa mengkoordinir setiap daerah tanpa perlu repot.
Ketiga pilar ini berkaitan dengan isu terhangat saat ini yaitu anak muda dan politik, dimana saat ini dunia politik sedang mengincar anak muda untuk digaet agar mengikuti arahan politiknya. Ada 3 jenis anak muda yang menanggapi politik : 1. Sadar Politik; 2. Apolitis, atau yang tidak peduli politik; 3. Sok tahu tentang politik.
Saat ini yang dibutuhkan anak muda yang bukan lagi mau dijadikan objek bahwa ‘kita harus jadi subjek’. Hari gini banyak informasi jangan mau kita netral-netralan. Kita harus berani mengambil sikap lewat proses. Algoritma media sosial membuat kita dipertemukan dengan kesukaan yang sama. Maka, belajar untuk keluar dari comfort zone dan melihat perspektif yang berbeda adalah awal dari gerakan kita untuk mengambil sikap di era digital ini. Kembali lagi tujuannya, agar kita tidak lagi ditinggal oleh teknologi dan digital. Dari sini pula kita bisa memberdayakan masyarakat melalui dunia digital. Memberdayakan masyarakat dengan baik akan menghasilkan sumber daya masyarakat yang baik pula.
Source : Najwa Shihab BukaTalks https://www.vidio.com/watch/1564663-najwa-shihab-empowering-society-through-digital-media-bukatalks