Karya Juara 2 Lomba Artikel Nasional by KampungDigital.ID

Mencuri Hati Milenial, Menjadi Pemimpin di Era Termutakhir

Perebutan kekuasaan memang selalu membara, akan tetapi dalam beberapa tahun ke belakang ini, panasnya panggung politik semakin menguat dan menjalar ke segala arah. Tidak dapat dimungkiri bahwa kini politik telah menjadi fanatisme yang menelan akal sehat, kesopanan, kesantunan, dan keramah-tamahan. Teknologi pun seakan mendukung fanatisme tersebut dengan menyediakan medan perang keyboard tidak terbatas bagi pada pendukung masing-masing kubu. Dengan mudah, masyarakat dapat mengakses perang daring di media sosial seperti Twitter, Instagram, dan Facebook. Caci-maki dan julukan-julukan nista yang merendahkan lawan politiknya bermekaran dari satu hari ke hari lain. Lebih buruknya lagi, perang di media sosial tersebut seringkali disebarluaskan atau diviralkan sehingga menjangkau lebih banyak pengguna media sosial. Bahkan tidak jarang media massa memberitakan perang daring tersebut sehingga para penonton yang tidak mengenal perangkat gawai dan sosial media tidak luput dari percikan konflik politik.

“Sejarah membuktikan bahwa manusia tidak pernah belajar dari sejarah” adalah sindiran yang mungkin dapat secara tepat menjelaskan kondisi saat ini. Sesungguhnya Indonesia tidak kekurangan tragedi. Jika buku-buku teks perkuliahan disederhanakan dan dituangkan dalam buku pelajaran pelajar, mungkin masyarakat akan lebih memahami apa yang terjadi di masa silam. Kemerdekaan Indonesia tidak turun dari langit. Darah, keringat, dan air mata jutaan warga Indonesia di masa silam menjadi tumbal atas gelak tawa penduduk saat ini. Memprihatinkan, perjuangan para leluhur bangsa di masa silam tersebut dibalas dengan adu domba antarbangsanya sendiri.

Bukan hanya di Indonesia, persoalan terlupakannya sejarah pun turut menjadi masalah di belahan dunia lain. Dalam ensiklopedia pemimpin dunia, daftar diktator yang sempat dan masih memimpin berbagai negara begitu panjang dan seakan tidak pernah habis. Setelah satu diktator tumbang oleh kudeta, maka diktator lain akan menduduki puncak kepemimpinan seakan tidak takut hal yang sama akan terjadi padanya. Akan tetapi, pelajaran penting yang ditebus dengan nyawa jutaan penduduk tersebut tidak diacuhkan. Pemimpin bengis masih saja mendapatkan tempat di kursi tertinggi sebuah pemerintahan¹.

Dunia adalah medan perang dan pemimpin yang tepat akan membawa rakyatnya pada kemenangan. Definisi dari pemimpin yang tepat tentu saja subjektif dan tentatif. Setiap kalangan memiliki kriterianya tersendiri. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila Indonesia yang didominasi oleh penduduk muslim akan secara otomatis menjadikan kesalehan sebagai tolak ukur dalam memilih pemimpin. Dengan kata lain, sebagian besar penduduk Indonesia menganggap kepemimpinan dan religiositas tidak dapat dipisahkan. Hal ini mungkin dapat dilihat sebagai kerugian atau bahkan diskriminasi oleh pihak selain pemeluk agama Islam yang memiliki hak setara dengan para muslim di Indonesia.

Rakyat Indonesia sesungguhnya tidak perlu risau apabila umat muslim menginginkan tokoh dari kalangannya yang memangku jabatan tertinggi di pemerintahan. Meskipun terkesan klise, keyakinan bahwa Islam adalah agama rahmatan lil alamin yang akan membawa rahmat dan kesejahteraan bagi seluruh isi alam semesta adalah benar adanya. Visi ini memang tidak mudah untuk dicapai sebab manusia seringkali dibutakan oleh nafsu, termasuk pemimpin. Oleh sebab itu rakyat memangku kewajiban yang tidak kalah berat, yaitu untuk memilih pemimpin yang betul-betul menguasai ilmu agama, memahami tugasnya sebagai pemimpin semua kalangan, dan mampu menyadari besarnya pertanggungjawaban seorang pemimpin baik di dunia maupun akhirat.

Terminologi ‘pemimpin ideal’ kerap didengungkan oleh berbagai kalangan saat menyeleksi sosok pemimpin. Perlu diingat bahwa ‘pemimpin ideal’ bisa jadi hanyalah sekadar mitos belaka sebab dunia tempat manusia kini tinggal pun jauh dari kata ideal. Pemimpin yang dibutuhkan setiap generasi sesungguhnya adalah pemimpin yang mampu mengatasi tantangan di zamannya, yang tentu berbeda dengan tantangan di masa silam maupun masa depan.

Dipengaruhi oleh peristiwa peperangan di masa lalu, perubahan kondisi zaman dan perilaku manusia, serta berbagai peristiwa yang terjadi di masa lampau, milenial memiliki kriteria pemimpin pilihannya sendiri. Milenial, atau yang juga dikenal sebagai Generasi Y, Gen Y, atau Generasi Langgas adalah generasi yang lahir pada rentang tahun 1982-an hingga awal 2000-an. Karakter milenial umumnya ditandai dengan peningkatan penggunaan alat komunikasi, media, dan teknologi digital. Peningkatan penggunaan dan perkembangan teknologi tersebut menjadikan milenial lebih terkesan individual, lebih tertarik para nilai materialistis, apatis terhadap isu politik, dan kurang memiliki empati pada sesamanya. Kaum milenial yang tidak mengalami peperangan secara langsung biasanya dianggap pemalas, narsis, dan kurang siap berkomitmen pada satu bidang karier sehingga sering berpindah pekerjaan².

Milenial memang tidak mengalami perang besar seperti Perang Dunia I, Perang Dunia II, maupun Perang Dingin. Namun, bukan berarti milenial tidak terlibat dalam konflik yang mencabik batin. Kaum milenial menjadi saksi dari kekejaman diskriminasi, termasuk apartheid, serta diskriminasi wanita dan kaum LGBTQ. Selain itu, generasi milenial pun sudah jengah menyaksikan kebijakan para politikus yang sering ingkar janji, tidak mewakili aspirasi rakyat, dan korup. Atas dasar inilah generasi milenial cenderung antipati terhadap politik tetapi lebih terbuka akan kesetaraan hak sehingga mampu menghargai kaum minoritas, lebih optimis, dan lebih siap menampung saran dan kritik. Milenial cenderung lebih memilih turun langsung menyelesaikan masalah atau mencari jalan pintas daripada harus berurusan dengan birokrasi yang rumit. Ini sebabnya metode permintaan petisi kepada warganet sangat populer dilakukan saat suatu kasus menemui jalan buntu.

Dengan karakteristik milenial yang demikian, maka milenial tidak akan menyukai gaya kepemimpinan yang kolot dan kaku. Milenial mengharapkan sosok pemimpin yang inovatif, mutakhir, dan praktis tanpa perlu banyak dialektika yang membuang waktu; yang bersedia menengok ke belakang untuk belajar dari kegagalan-kegagalan yang menimpa pemimpin sebelumnya; yang bersedia menurunkan egonya dan merangkul semua kalangan dengan tangan terbuka dan lapang dada; yang paham bahwa dunia bukan hanya milik kalangannya, ada kalangan lain yang harus dipenuhi haknya, dan pertikaian antarras, antarkalangan, antargolongan harus segera dihentikan; yang mampu memanfaatkan kemajuan teknologi dan industri untuk mengajak pendukungnya melakukan kebajikan secara terus-menerus tanpa mengharapkan balasan apapun selain dari Sang Maha; yang tidak memiliki kepentingan lain selain memajukan, menyejahterakan, dan mendidik rakyatnya untuk menjadi mandiri dan tangguh.

Tentu saja kriteria pemimpin yang dipaparkan sebelumnya tidak akan bermakna apabila tidak disertai dengan empat sifat pemimpin terbaik, yaitu siddiq, amanah, fathanah, dan tabligh³. Sifat siddiq atau jujur menandakan seorang pemimpin yang dapat dipercaya. Sifat amanah menandakan seorang pemimpin mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Sifat fathanah atau cerdas dapat membantu seorang pemimpin menyelesaikan setiap masalah yang dialami oleh warganya serta membuat visi, misi, dan strategi untuk menyejahterakan warganya. Terakhir, sifat tabligh akan membuat pemimpin mampu berkomunikasi dan bernegosiasi. Keempat sifat ini adalah sifat yang dimiliki manusia terbaik sepanjang zaman, Muhammad Rasulullah Saw. Kepemimpinan Rasulullah bahkan diakui oleh Michael H. Hart dalam bukunya The 100 sebagai tokoh paling berpengaruh sepanjang sejarah⁴. Kemuliaan Rasulullah yang diakui oleh kalangan di luar muslim menunjukkan betapa besarnya suri teladan sang kekasih Allah Swt.tersebut⁴.

Pada akhirnya, pemilihan pemimpin oleh rakyat dapat diumpamakan seperti pemilihan perisai oleh prajurit yang akan berperang. Perisai lemah akan membuat para prajurit kewalahan menghadapi serangan musuh, sementara perisai yang kuat akan mampu melindungi dengan optimal. Namun, di samping itu, sang prajurit yang merupakan simbol dari rakyat, harus memiliki sifat tangguh, pantang menyerah, dan cerdik, agar tidak selalu bergantung kepada perisainya.

REFERENSI

  1. https://www.conservapedia.com/List_of_dictators
  2. https://id.wikipedia.org/wiki/Milenial
  3. https://www.kompasiana.com/masdikdok/5ad1b55bf133440990547712/sosok-pemimpin-dalam-islam?page=all
  4. https://bincangsyariah.com/khazanah/ini-alasan-michael-hart-jadikan-nabi-muhammad-100-tokoh-berpengaruh-nomor-wahid-dunia/

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *