Kenal Sepintas Dengan Pemimpin Ideal Jagoan Millenial
“Tak kenal maka tak sayang, sudah lama kenal namun tak kunjung disayang,” tulis seorang warganet dalam unggahan akun media sosial Instagram miliknya. Dengan latar senja dan sedikit efek yang membuatnya nampak melankolis, ratusan love pun membanjiri unggahan tersebut sebagai bentuk respek sesama netizen dengan nasib yang nyaris sama. Sebagai kaum millenial yang hidup di abad ke-21, sepertinya kita tidak dapat lagi menolak kenyataan bahwa kalimat di atas pantas dinobatkan sebagai peribahasa paling populer yang pernah ada. Tak lain dan tak bukan, peribahasa itu sendiri memiliki makna yang cukup dalam, pun tetap realistis. Sesuai dari makna asli yang disampaikan sang pepatah, kita memang cenderung akan lebih menyayangi orang lain ketika sudah mengenalnya dengan baik. Meski begitu, bukan berarti kita tidak memiliki empati terhadap orang-orang yang belum kita kenali. Karena bagi millenial, caring is like a must,
Bagi yang belum mengenal istilah generasi millenial, sebenarnya tak ada satu pihak pun yang tahu pasti mengenai asal-usul terciptanya istilah ini. Penggunaan kata millenial yang banyak digunakan tersebut pertama kali dipakai oleh William Strauss dan Neil dalam bukunya yang berjudul Millennials Rising: The Next Great Generation (2000). Setelah itu, banyak pihak lain yang menyebutkannya kembali dan menjelaskan artian dari generasi millenial itu sendiri hingga akhirnya populer sampai ke Indonesia. Kebanyakan dari mereka beranggapan bahwa generasi millenial lahir sebelum abad ke-21, yaitu di masa awal pengembangan teknologi dilakukan. Rata-rata pendapat menunjukkan bahwa generasi ini lahir di antara tahun 1980-2000. Berdasarkan informasi yang diberikan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, generasi millenial menduduki persentase tertinggi dalam jumlah populasi per generasi Indonesia pada tahun 2017 sebesar 33,75%. Jumlah yang sangat tinggi itu mengalahkan populasi generasi-generasi lain, antara lain generasi X sebesar 25,74% dan generasi Z sebesar 29,23%.
Jauh sebelum generasi millenial dilahirkan, yakni sekitar 1 juta tahun yang lalu, nenek moyang kita telah lebih dulu mengenal istilah kepemimpinan walaupun komunikasi pada saat itu masih sangat sulit dilakukan. Pada masa itu, pemimpin adalah individu yang ditunjuk atau dipercayakan oleh individu lain di sekelilingnya untuk melindungi mereka dari keganasan binatang buas dalam menghadapi alam lepas yang liar. Biasanya, orang yang ditunjuk ialah orang yang diduga paling kuat dan pemberani di wilayahnya. Mereka membentuk suatu kelompok dengan seorang pemimpin dan hidup dalam kerjasama yang baik. Meski komunikasi antar individu masih bersifat primitif, mereka merdeka karena memilih sendiri pemimpin ideal menurutnya berdasarkan karakteristik tertentu.
Selain sejarah kepemimpinan dari manusia purba yang masih bersifat spontan, dunia memiliki banyak catatan hitam-putih dalam masa kepemimpinan seseorang dari spesies manusia modern. Sebagian berhasil membawa rakyatnya berjaya, sebagian lagi justru hanya menambah catatan duka. Jika orang tua atau guru sejarah di sekolah Anda pernah menceritakannya, tentu kisah Raja Caligula dan kebengisannya akan terdengar familiar di telinga. Raja Caligula terkenal sebagai raja ketiga Romawi yang kejam, ia tak dicintai oleh rakyatnya karena perbuatannya yang sewenang-wenang. Caligula memimpin Romawi hanya untuk kepuasannya pribadi. Ia bahkan menghabiskan kas negara hanya untuk memenuhi keranjangmakanannya. Hingga kini dan selamanya, Caligula patut menjadi bukti kegagalan dalam dunia leadership dan menjadi cermin bagi calon-calon pemimpin di masa mendatang.
Bicara soal calon pemimpin di masa mendatang, generasi millenial ternyata memiliki tipe pemimpin ideal yang berbeda dari generasi sebelumnya. Hal ini terjadi karena seiring berjalannya waktu, keadaan mulai berubah disebabkan banyaknya budaya lain yang masuk dan mengubah sedikit pola pikir masyarakat. Selain budaya luar yang membuat pola pikir masyarakat semakin terbuka, adanya perkembangan teknologi juga membuat gaya hidup masyarakat cenderung bergeser dari yang semula serba manual menjadi serba digital. Hal ini terbukti mampu membawa perbedaan yang signifikan bagi generasi millenial terhadap apa yang mereka senangi jika dibandingkan dengan generasi sebelum-sebelumnya, termasuk dalam hal ini salah satunya kriteria pemimpin ideal di mata mereka. Generasi millenial umumnya menyukai kebebasan dan keterbukaan, layanan berbasis teknologi serta menggabungkan antara aspek satu dengan aspek lain. Generasi ini amat menyukai tantangan dan terkenal dengan kemampuannya yang dapat dengan cepat berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain. Pemikiran modern dan zaman maju yang mengiringi millenial pun berdampak pada peningkatan kriteria pemimpin ideal bag mereka.
Berdasarkan hasil survei pada sejumlah millenial melalui dua media sosial, Instagram dan WhatsApp, diperoleh 25 responden dengan rentang usia 18-25 tahun yang berkesimpulan bahwa terdapat tujuh poin penting mengenai kriteria pemimpin ideal menurut millenial, antara lain:
1. Berwawasan luas
Knowledge is power. Memiliki kekayaan akan pengetahuan merupakan suatu kekuatan tersendiri bagi pemiliknya. Orang-orang ini identik dengan kesan yang kaku dan tertutup. Padahal, jauh dari stigma masyarakat terhadap orang yang berwawasan luas tersebut, orang yang menyimpan banyak pengetahuan adalah pribadi yang sangat terbuka dan memiliki milyaran ide cemerlang. Mereka yang berwawasan luas niscaya akan berpikir lebih banyak dalam setiap pengambilan keputusan. Karena banyaknya aspek yang menjadi pertimbangan, pemimpin yang memiliki wawasan luas diyakini tidak akan ceroboh dalam memilah sesuatu. Tidak heran jika millenial menambahkan syarat ini ke dalam tipe pemimpin idealnya.
2. Pola Pikir Terbuka dan Toleransi (openminded and tolerance)
Adalah termasuk orang-orang yang berpikiran terbuka bila kita dapat melihat segala sesuatu dengan positif, menerima tantangan sebagai media untuk berkembang, maupun melihat setiap peluang untuk sebuah perubahan. Tipe pemimpin yang seperti ini sangat diperlukan karena dapat mengalahkan orang yang sekadar berwawasan luas. Selain itu, jiwa toleransi harus melekat pada diri setiap pemimpin, bahkan setiap makhluk di muka bumi. Melansir dari Wikipedia, diperkirakan ada lebih dari 8 juta spesies di dunia dengan 7 miliar manusia yang tinggal (Badan Statistik Amerika Serikat, 2018). Di balik angka yang fantastis itu, setiap kepala masih menyimpan keunikannya sendiri. Bukan hal yang tak biasa bila setiap orang memiliki ketertarikan berbeda-beda, bahkan tak jarang bertolak belakang. Dalam kasus ini, menurut millenial, seorang pemimpin harus bisa merangkul seluruh kalangan agar tak ada kecemburuan sosial.
3. Tidak Buta Teknologi
Teknologi bukan lagi barang mewah untuk generasi millenial, dalam artian mereka sudah biasa melibatkan teknologi di berbagai aktivitasnya. Bagi mereka, teknologi adalah teman keseharian yang dapat membantu mereka menemukan kehidupan yang sesuai dengan keinginannya. Hampir seluruh generasi ini mengenal teknologi dan tidak dapat lepas dari penggunaannya. Salah satu yang paling banyak menyita perhatian millenial saat ini adalah media sosial. Bahkan, dalam artikelnya yang berjudul “Mengenal Generasi Millenial”, Kementerian Komunikasi dan Informatika (KOMINFO) menyatakan bahwa media sosial telah menjadi platform pelaporan dan sumber berita utama bagi masyarakat. Maraknya usaha online yang digeluti para millenial serta munculnya istilah baru seperti selebgram atau selebriti instagram merupakan dua contoh riil yang cukup untuk menggambarkan keakraban millenial dengan media sosial sebagai hasil dari kemajuan teknologi digital. Berdasarkan fenomena ini, tidak salah jika millenial menginginkan sosok pemimpin yang melek teknologi atau minimal tidak buta akan kehadirannya.
4. Anti-diktator dan Optimistis
Diktator adalah sebuah figur pemimpin yang memerintah secara sewenang-wenang cenderung menindas. Sikap pemimpin yang satu ini bertolak belakang dengan karakteristik millenial yang menyukai kebebasan dan menjunjung tinggi kesetaraan hak. Millenial membenci segala bentuk tindakan otoriter seperti yang pernah terjadi pada zaman sebelum mereka. Juga, sebagai generasi visioner yang memiliki banyak tujuan dalam hidupnya, millenial menyukai keoptimisan dan menyukai pemimpin yang memandang suatu tujuan dengan optimis.
5. Tidak Bersikap Abu-abu
Abu-abu atau tak berpendirian adalah suatu kondisi dimana seseorang tidak dapat memutuskan suatu hal dengan jelas. Sikap pemimpin yang demikian jelas sekali sangat membingungkan, kadang justru membahayakan. Meski terkenal unggul dalam berpindah konsentrasi, bukan berarti millenial sudi menerima pemimpin yang ‘abu-abu’. Millenial justru mengidolakan pemimpin yang tegas dalam mengambil keputusan, tidak bergantung dengan orang lain namun tetap menjadikan saran sebagai pertimbangan.
6. Out of The Box
Besar dan hidup di masa terjadinya pasar global membuat generasi millenial sedikit banyak harus memutar otak untuk dapat bersaing sesama manusia lain. Situasi yang demikian membuat generasi millenial harus berpikir out of the box, yakni sebuah cara berpikir yang berbeda di luar pemikiran pada biasanya. Buah dari pemikiran yang out of the box ini dapat berupa kekreatifan tanpa batas, inovasi terbarukan, maupun pergeseran standar estetika terhadap suatu hal yang sebelumnya merupakan standar mutlak bagi penikmatnya. Millenial adalah generasi yang menunjukkan banyak keunikan, mereka cenderung meninggalkan cara berpikir yang kuno dan monoton. Olehnya, memiliki pemimpin yang kreatif atau out of the box merupakan dambaan bagi para millenial.
7. Dekat
Mudah menyerap masukan dan pandai bergaul merupakan ciri seorang millenial pada umumnya. Mereka kurang menyukai pemimpin yang mengontrol segalanya dari jauh. Mereka lebih menyukai on going conversation baik melalui daring maupun bertemu secara langsung alias face to face. Bagi millenial, lingkungan yang interaktif lebih bermanfaat daripada kekuasaan yang membuat hubungan antara pemimpin dan pengikutnya menjadi kaku dan tegang. Oleh sebab itu, mempunyai sosok pemimpin yang tak segan berada di dekat mereka adalah suatu kemewahan yang diimpi-impikan para millenial.
Mengenai pemimpin ideal di mata millenial, sebenarnya ada pihak-pihak yang mengkhususkan kriteria tertentu bagi calon pemimpin yang diinginkannya. Salah satu yang paling ramai dibahas sekarang ialah latar belakang pendidikan yang dimiliki sosok pemimpin tersebut. Semua orang sepakat bahwa pendidikan adalah hal yang penting untuk diproritaskan. Namun lebih dari itu, sebagian millenial beranggapan bahwa riwayat pendidikan yang ditempuh seseorang merupakan poin utama dalam menentukan layak atau tidaknya seseorang menjadi pemimpin. Di luar dari golongan yang menyatakan demikian, sebagian millenial menganggap bahwa riwayat pendidikan yang dimiliki suatu kandidat tidak begitu berpengaruh terhadap jiwa kepemimpinan seseorang. Dalam hal ini, mereka mengambil contoh dari sosok Ibu Susi Pudjiastuti yang kini sukses menjalankan tugasnya sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan sekaligus menjadi pemimpin perusahaan-perusahaannya yang lain.
Belajar dari keberhasilan para pemimpin di zaman prasejarah, sebagai generasi millenial yang mendominasi hampir setengah populasi di Indonesia, mengenal atau memiliki kriteria tertentu terhadap suatu calon pemimpin bukanlah hal yang salah. Sebaliknya, memiliki kriteria akan pemimpin ideal merupakan hal yang dianjurkan mengingat gaya kepemimpinan seseorang dapat memberi pengaruh terhadap orang-orang di sekitarnya. Permasalahan yang terjadi dalam lingkup manusia hanya bisa diatasi oleh manusia itu sendiri. Karenanya, kita amat berhak untuk memilih pemimpin berdasarkan keadaan di lingkungan kita. Ibarat kepala yang memberi jalan bagi oksigen untuk bernapas, seorang pemimpin harus bisa menjadi garda terdepan bagi setiap kesempatan yang terbuka agar seluruh bagian ‘tubuhnya’ dapat selalu hidup, pun matanya juga harus bisa membaca setiap situasi dengan jeli.
Terlepas dari itu semua, siapapun berhak bercita-cita menjadi seorang pemimpin. Pepatah lain mengatakan, “Tak ada gading yang tak retak”. Artinya, seelok apapun rupa, selurus apapun jalan pikiran, tidak mungkin ada orang yang benar-benar sempurna dalam menjadi dirinya. Tidak ada manusia yang tak pernah mengecewakan orang lain karena setiap orang hidup di atas ekpetasinya masing-masing. Mulai saat ini, berjanjilah untuk berhenti bersikap apatis terhadap fenomena sosial di sekitarmu. Jadilah millenial yang merdeka, buat kriteria pemimpin idealmu dan persiapkan dirimu menjadi pemimpin di masa hadapan. Mengharapkan seorang pemimpin hebat memang hal yang baik. Lebih dari itu, berusaha menjadikan dirimu sosok pemimpin hebat bagi orang lain akan terasa jauh lebih baik.
Millenial merdeka dalam memilih, millenial gigih dalam menjadi.
Salam great generation!
REFERENSI
- Jakarta: Kementerian Perbedayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Budiati, I., dkk. 2018. Statistik Gender Tematik: Profil Generasi Millenial Indonesia.
- https://m.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20180720094449-282-315612/mitos-dan-fakta-seputar-generasi-milenial. Diakses pada 8 Maret 2019. CNN Indonesia. 2018. Mitos dan Fakta Seputar Generasi Millenial. [Internet]
- https://www.idntimes.com/life/inspiration/amp/sinta-wijayanti-d/10-ciri-dasar-generasi-
millennial-c1c2. Diakses pada 8 Maret 2018. IDN Times. 2018. 10 Ciri Dasar Generasi Millenial, Kamu Termasuk Gak Nih?. [Internet] - https://www.kominfo.go.id/content/detail/8566/mengenal-generasi-millennial/0/sorotan_media. Diakses pada 1 April 2019. Kementerian Komunikasi dan Informatika. 2016. Mengenal Generasi Millenial. [Internet]
- http://makassar.tribunnews.com/amp/2017/04/10/kejam-5-kelakuan-biadab-raja-ini-bikin-murka-rakyatnya-nomor-5-paling-sadis. Diakses pada 1April 2019. Tribun Timur. 2017. Kejam! 5 Kelakuan Biadab Raja Ini Bikin Murka Rakyatnya, Nomor 5 Paling Sadis.
- https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/04/23/berapa-jumlah-penduduk-dunia. Diakses pada 7 April 2019. We Are Social. 2018. Berapa Jumlah Penduduk Dunia? [internet]