PEMIMPIN BELAJAR KEPADA SIAPA?
Tema: Pemimpin Ideal Menurut Millenial
Ditulis oleh Brigita Sance | April 2019
untuk Lomba Artikel Nasional Kampung Digital
Belajar sangat identik dengan sekolah, guru, dan buku. Ketiga hal ini adalah kata-kata yang sangat dekat untuk menggambarkan arti belajar. Menurut KBBI, belajar dapat diartikan sebagai usaha memperoleh kepandaian atau ilmu. Proses belajar diawali dengan perkenalan akan hal baru, adanya ketertarikan dan kesadaran tidak memahami sesuatu, timbulnya kemauan untuk memahami, lalu memilih untuk mendalami. Proses ini merupakan siklus yang tidak dapat terputus, baik karena alasan waktu, tempat, sumber belajar maupun alasan lain. Maka benarlah slogan yang mengatakan long life education. Proses belajar berhenti ketika salah satu proses diatas terputus dan hal itu hanya akan terjadi karena kemauan diri sendiri. Pada prinsipnya, setiap orang yang bersedia untuk belajar adalah untuk memperoleh pengalaman. Tidak seorang pun dapat memperoleh baik pengalaman, perspektif, maupun pengetahuan tanpa melalui proses belajar. Stephen Hawking, seorang ahli kosmologi, tidak menjadikan penyakitnya sebagai alasan untuk berhenti belajar. Ia bahkan didiagnosa mengidap penyakit Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS), yang menyerang sarafnya pada umur yang sangat produktif, 21 tahun. Ia harus duduk di kursi roda dan hanya bisa berkomunikasi menggunakan bantuan komputer, namun ia tetap berkarya. Kisah Hawking mengajarkan dunia bahwa tidak ada alasan untuk seseorang tidak dapat belajar selagi ia mempunyai akal sehat. Hawking selalu yakin bahwa selalu ada celah atas setiap kesulitan jika ia mau menghadapinya. “Jangan kehilangan motivasi sebagaimana anda telah kehilangan kesehatan” adalah salah satu formula kesuksesan Hawking.
Jika anak berumur 7-18 tahun ditanya, “kamu belajar dari siapa?”, mungkin akan dijawab dengan spontan “dari sekolah”, “dari guru”, atau “dari orang tua”. Tetapi jika pertanyaan yang sama ditanyakan kepada orang dewasa, jawaban yang disebutkan mungkin akan lebih beragam. Pemuda yang sering berpetualang mungkin akan berkata, “saya belajar dari alam dan dari setiap orang yang saya temui”. Seorang pekerja mungkin akan berkata, “saya belajar dari atasan dan lembaga tempat saya bekerja.” Pandangan setiap orang mengenai belajar bisa jadi berbeda, tergantung pada kondisi orang tersebut. Baik siswa, pekerja, atau freelancer mempunyai alasan dan tujuan yang berbeda mengenai hal ‘belajar’. Pemimpin juga mempunyai alasan dan tujuan untuk mengenai belajar. Seorang pemimpin sehari-hari bekerja dengan rekan kerja, tim dalam pimpinannya, atau bahkan dengan organisasi lain. Pemimpin dapat belajar melalui pekerjaannya, rekan kerja, bahkan juga dari organisasi lain. Semua orang bisa belajar dari apa saja, siapa saja dan dimana saja. Sebab pada dasarnya, semua tempat adalah sekolah dan semua orang adalah guru (Dofran Luhulima).
Sebelum seseorang menjadi pemimpin, ia terlebih dahulu menjalankan peran lain, boleh jadi sebagai anggota, peserta didik atau dalam dunia pekerjaan kerap disebut trainee. Seiring berjalannya waktu, ia akan bertransformasi menjadi pemimpin. Hal ini tidak terlepas dari proses belajar. Seorang pemimpin tidak lahir sebagai pemimpin, ia menjadi pemimpin adalah hasil dari usaha membangun dan menginvestasikan diri. Membangun diri tidak berarti memperkaya diri dengan digit Rupiah lalu menukarnya dengan masa kepemimpinan. Pemimpin yang benar tidak lahir dari transaksi, tetapi dari transformasi. Membangun diri berarti memperkaya pikiran dan memperluas perbuatan. Meski tidak mudah, kedua hal ini harus berjalan beriringan untuk menghasilkan buah kepemimpinan yang baik. Berkomunikasi dengan semua komunitas atau golongan, membaca, mengikuti kegiatan lintas minat, atau bahkan duduk di kelas akan memperkaya cakrawala berpikir pemimpin. Pengetahuan mengenai manajerial dan komunikasi sudah menjadi kualifikasi wajib bagi seorang pemimpin. Akan tetapi tidak semua pemimpin mempunyai bidang keahlian yang sama. Beberapa mungkin mempunyai latarbelakang bidang Teknik, Kesehatan, Pendidikan, Ekonomi, dan sebagainya. Pemimpin mungkin bertanggungjawab atas bidang/departemen diluar bidang keahliannya. Satu-satunya jalan keluar bagi pemimpin adalah belajar memahami bidang tersebut. Oleh karena itu memperkaya pikiran tidak dapat dilakukan sekejap mata. Pengalaman yang diperoleh pemimpin dapat diibaratkan seperti benih yang ditanam oleh lingkungannya yang akan tumbuh selamanya. Meskipun membangun diri bersifat pribadi, akan tetapi pada prosesnya tetap membutuhkan peran orang lain.
Saat seseorang telah menempati posisi pemimpin, tidak lantas proses belajar itu berhenti. Penting untuk selalu disadari bahwa dunia ini terus berubah. Generasi ke generasi berubah dan zaman pun berubah. Setiap generasi mempunyai potensi yang berbeda, hal ini perlu dipahami oleh pemimpin. Najwa Shihab mengatakan bahwa anak muda di zaman ini adalah warga negara dunia, tersambung dengan seluruh sudut dunia. Menurut Najwa, cita-cita menjadi PNS adalah cita-cita generasi 80-an, cita-cita bekerja di perusahaan BUMN adalah impian generasi 90-an, demikian juga menjadi karyawan perusahaan multinasional adalah cita-cita generasi 2000-an. Ada pergeseran cita-cita maupun tujuan anak muda dari generasi ke generasi. Perubahan-perubahan yang tidak akan pernah ada habisnya memaksa setiap orang untuk belajar, baik untuk memperkaya dirinya sendiri atau memperkaya kalangannya. Dengan memahami bahwa zaman terus berubah, pemimpin perlu menyadari bahwa dirinya pantang untuk berhenti belajar. Setiap zaman adalah unik, baik dari sisi sumber daya manusia, potensi alam, kebutuhan dan sebagainya yang dapat mempengaruhi orientasi suatu organisasi/negara dalam pimpinannya. Pemimpin yang ideal diharapkan mampu memahami dan menempatkan diri dengan tidak kehilangan ‘dirinya’ atas situasi yang berubah-ubah tersebut.
Konsistensi belajar akan menggiring pemimpin pada sudut pandang yang semakin luas dari hari kehari. Seorang pembicara dalam seminar yang saya ikuti tahun Maret 2019 lalu, Yohanes Kurnia, pernah mengatakan, “don’t say to your kids: don’t touch, but tell them: you can touch and be careful.” Kalimat tersebut memberikan kebebasan bagi anak, dan lebih dari itu, sebagai bukti keterbukaan seorang pemimpin. Memberikan ruang bagi anak muda untuk mengeksplorasi hal-hal baru berarti memberi kesempatan untuk mengenali diri dan membuka peluang kesuksesan yang sangat luas. Ketika seseorang yang diberi kebebasan penuh mengalami ‘kecelakaan’ atas apa yang dikerjakannya, kelak ia akan belajar membuat batas atas kebebasan tersebut. Ia akan menyadari hal mana yang boleh dilakukan, atau hal-hal membahayakan dirinya maupun orang lain. Sejauh pemuda mempunyai tujuan, ia akan bertanggungjawab atas kebebasannya dan tetap berusaha meski harus mengalami jatuh-bangun. Mark Zuckerberg, dalam salah satu pidatonya menyampaikan bahwa formula sukses adalah memiliki kebebasan untuk gagal. Kebebasan yang diberikan oleh pemimpin sebaiknya bertujuan untuk mengidentifikasi potensi anak-anak muda. Oleh karena itu, defenisi sukses menurut pemimpin semestinya tidak lagi terbatas pada hasil, materi, nama besar, atau jabatan, tetapi lebih dari semua itu. Tidak ada parameter yang benar dalam mengukur kesuksesan itu sendiri.
Pemahaman atas potensi-potensi tersebut dapat membantu pemimpin dalam menetapkan haluan organisasi/negara dan mempersiapkan anak-anak muda untuk masa depan mereka. Pemimpin sering kali membuat tujuan yang besar, hal tersebut tentu baik. Akan tetapi jauh lebih baik jika tujuan besar tersebut dilakukan bersama. Seseorang akan merasa dihargai apabila kehadirannya memberikan dampak bagi komunitas dimana ia berada. Melibatkan anak-anak muda yang memahami potensi dirinya dalam suatu tujuan besar komunitas, organisasi, lembaga atau bahkan negara merupakan salah satu bentuk kepercayaan pemimpin kepada anak muda. Rasa percaya diri pemuda timbul dari pengalamannya menjadi bagian dari tujuan besar yang berdampak bagi lingkungannya. Pemimpin harus memastikan bahwa anak-anak muda siap bersaing dimasa depan dengan turut ambil bagian didalam prosesnya. Jika seorang pemimpin tidak belajar memahami potensi anak-anak muda, dan melibatkan anak muda dalam tujuan besar, betapa “mati” masa itu ditangannya.
Latar belakang pemimpin boleh jadi berbeda dari tim atau rekan kerjanya, baik asal, pendidikan, keahlian, agama dan sebagainya, namun hal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk pemimpin tidak mampu mengayomi anggota dalam pimpinannya. Kemampuan beradaptasi atas perubahan tidak dapat dilakukan dalam sekejap, demikian juga kemampuan memahami kebutuhan dan potensi organisasi. Keterbukaan merupakan satu-satunya pilihan untuk pemimpin masa kini. Membuka diri untuk mau belajar dari setiap benih yang ditanam oleh lingkungannya tanpa harus kehilangan jadi diri. Seperti slogan masyarakat Indonesia, modernisasi tak selalu westernisasi, membuka diri tak selalu membuat seseorang kehilangan jadi diri. Membangun diri dengan berbagai pengetahuan adalah pilihan setiap orang. Menjadi berguna atau mengabaikan kepentingan orang lain juga adalah pilihan setiap orang. Pemimpin perlu belajar dari segala hal, sebagai pernyataan bahwa dirinya tidak sempurna sekaligus menjadi bukti pengabdiannya untuk organisasi/negara. Tidak ada batas bagi siapapun untuk belajar, termasuk bagi pemimpin. Belajarlah dari rekan, dari siapa saja, dari apa saja dan dimana saja.
REFERENSI:
- https://www.lifehack.org/articles/communication/the-success-formula-stephen-hawking-
taught.html diakses pada 07 April 2019 - www.hawking.org.uk/about-stephen.html diakses pada 08 April 2019
- https://m.facebook.com/notes/mark-zuckerberg/harvard-commencement-2017/10154853758606634 diakses pada 01 April 2019
- http://indonesianlantern.com/2018/11/12/pesan-najwa-shihab-bagi-generasi-milenial-indonesia/ diakses pada 08 April 2019